Rabu, 04 Februari 2015

Perseteruan Lembaga Penegak Hukum, Mencoreng Nilai Pancasila

“Cicak dan Buaya”, istilah yang cukup popular ini dilontarkan tahun 2011 lalu oleh mantan Kabareskim Polri Susno Duaji. Kini di awal tahun 2015, perseteruan Cicak melawan Buaya kembali mencuat seiring dengan memanasnya hubungan dua lembaga penegak hukum yakni Polri dan KPK. Bahkan perseteruan tahun ini lebih seru karena melibatkan unsur pimpinan KPK dan pimpinan Polri.

Masyarakat kembali disuguhi melalui layar kaca adu kuat dua lembaga Negara. Dimulai dari ketika KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi sehai setelah disetujui oleh DPR. Langkah KPK segera direspon Polri dengan menangkap salah satu wakil Ketua KPK Bambang Wijayanto oleh Bareskrim Mabes Polri.

Presiden merespon pertikaian dua instansi tersebut dengan membentuk Tim Independen berjumlah 9 orang yang diketuai oleh Dr Syafei Maarif. Tim 9 pun bekerja cepat dan menelurkan 5 rekomendasi kepada Presiden. Satu diantaranya yakni pembatalan pelantikan Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan. Presiden pun masih menimang-nimang saran tersebut sambil membuka komunikasi dengan berbagai pihak, satu diantaranya dengan rivalnya saat Pilpres lalu Prabowo Subianto.

Konflik antara KPK –Polri memasuki babak baru, dengan gugatan pra peradilan yang dilayangkan Polri atas penetapan tersangka pada Komjen Pol Budi Gunawan. Setelah menetapkan tersangka pada Bambang Wijayanato bahkan Bareskrim sedang mempelajari laporan masyarakat terhadap 3 Pimpinan KPK lainnya yakni Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zukarnaen Tokoh masyarakat seluruh komponen masyarakat tidak tidak tinggal diam. Mereka menyatakan dukungannya kepada KPK agar tetap bertahan dan berjuang melawan Korupsi. Bahkan gedung KPK di Jl Rasuni Said dikerumuni massa dengan membawa spanduk Save KPK. Media massa khususnya elektronik pun marak memberitakan perseteruan yang tidak kunjung usai ini.

Presiden Jokowi telah menginstrukasikan kepada kedua pihak untuk menghentikan kriminalisasi terhadap lembaga lain. Yang dimaksudkan adalah kalau tidak ada bukti yang cukup maka jangan mencari cara untuk membuat pasal tentang criminal. Disisi lain, Presiden meminta agar hukum menjadi panglima dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun instruksi presiden ini tidak meredakan ketegangan hubungan antara KPK dan Polri. Ego setiap instansi terlalu tinggi sehingga mematikan nurani dan meminggirkan pekerti.



Kembali pada Mentalitas Pancasila

Bangsa Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang merupakan pancaran nilai luhur bangsa. Namun, benarkah nilai-nilai lihur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.

Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Perseteruan dua lembaga Negara mestinya dihentikan dan tidak saling cakar. Hal ini terjadi karena nilai Pancasila tidak ternanam secara maksimal dalam pribadi pimpinan dua lembaga ini. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.

Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.

Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Ironisnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai ‘kompas’ atau ‘rambu-rambu’ untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.

Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi.

Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat.

Fakta bahwa banyak di antara elite pemimpin lembaga hukum ini bersetru tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku demikian jelas merupakan pelanggaran terhadap Pancasila dan menodai nilai-nilainya. Seharusnya rivalitas kedua lembaga tidak terjadi bila mengedepankan niai Pancasila khususnya sila ketiga dan keempat. Kedua lembaga harus mementingkan kesatuan bangsa dan mengurangi ego sektoral. Kedua lembaga juga harus mengedapankan musyawarah untuk mencapi mufakat. Ada hal-hal yang bisa diselesaikan dengan duduk bersama dan ada pula yang harus diselesaikan di depan hukum.

Kalau pun diselesaiakan secara hukum,kedua lembaga harus mempunyai etika atau tata karma termasuk prosedur harus sesuai dengan UU. Misalnya Pimpinan KPK berkomunikasi dengan Pimpinan tertinggi Polri atas kasus yang menimpa salah satu pimpinan Polri. Demikian juga penangkapan Polri atas Pimpinan KPK juga harus “kulo nuwun “ pada pimpinan yang lain, dan prosedur yang digunakan sesuai hukum. Sehingga kedua pimpina bisa saling mengerti atas keterlibatan oknum-oknum pucuk pimpinan dua lembaga penegak hukum.

Dudun Parwanto
Pengamat Kebangsaan

Related Articles:

Posting Komentar