Paska era reformasi, Pancasila seperti “barang yang langka”. Tidak banyak dijumpai kegiatan yang diadakan instansi pemerintah untuk menggencarkan penanaman nilai Pancasila. Di media massa, hanya MPR, lembaga yang sering santer disebut dan terlibat dalam sosialisasi Pancasila. Selebihnya, penanaman karakter Pancasila disandarkan pada mata pelajaran PKn (Pancasila dan Kewarganegaraan) di sekolah.
Yudi Latif , akademisi yang konsen dengan masalah kebangsaan menilai Pancasila kurang diamalkan karena tidak ada sosok yang pantas dijadikan panutan. Berikut artikel Yudi Latif yang berjudul Pancasila dalam Perbuatan sebagai sikapnya atas krisis jatidiri bangsa:
Saat ini, kita pergoki ada keluhan panjang dan luas tentang krisis keteladanan. Banyak orang meratapi ketiadaan panutan di tengah masyarakat, sebagai mercusuar di kegelapan. Seolah-olah contoh panutan itu mesti riil dan hadir sekarang dan di sini. Tetapi kita melihat kenyataan lain, betapapun Nabi Muhammad SAW, Isa Almasih (Yesus Kristus), dan Siddhartha Gautama telah tiada ratusan tahun lamanya, namun perangai (akhlak) mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Karena suri teladan mereka terus dikisahkan.
Sejauh ini, kita gagal mentrasmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hapalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.
Dengan demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa.Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani/Latin, “kharassein”/”kharaktêr”, yang berarti tulisan, lukisan, cetakan atau pahatan. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus).
Cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hapalan. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, “Moral is not taught but caught.” Pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif lewat hapalan dan ”pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusasteraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Pengaruh kesusasteraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan merubah dunia. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role modelbagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.
Jika pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya, bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru keteladanannya. Betapa banyak orang yang terinspirasi setelah membaca kisah para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan sebagian besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi, memuat kisah-kisah keteladanan.
Bangsa ini pun sesungguhnya memiliki “pahlawan-pahlawan” keagungannya tersendiri dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan “wong elit” (kalangan atas) maupun “wong alit” (rakyat biasa). Tetapi kisah-kisah keteladanan mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di belam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan dan reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.
Suatu usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.
Selain sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi penyelengara negara dan warga negara dalam kehidupan publik yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun dalam wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.
Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kaelan, 2013). Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012).
Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.
Tentang Pancasila sebagai tuntunan normatif kehidupan bangsa dan negara telah banyak buku yang mengupasnya. Tentang Pancasila sebagai paradigma pengetahuan, masih jarang buku yang mengupasnya. Setidaknya, salah satu usaha dalam kerangka itu telah coba saya lakukan dalam buku terdahulu “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011). Tentang Pancasila dalam dimensi tindakan, nyaris belum ada buku yang secara khusus mengupasnya, dengan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu.
Padahal, problem Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan, yang menimbulkan keraguan banyak orang akan “kesaktian” nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebuah usaha harus diulakukan untuk mengabarkan dan mengarusutamakan kisah-kisah keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Untuk menutupi kelangkaan itu, belum lama berselang, penulis telah meluncurkan buku “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” (Mizan, 2014). Kelahiran buku ini diharapkan bisa merangsang para penulis lain untuk menciptakan karya sejenis secara lebih kreatif agar keluhan panjang tentang kemarau keteladanan memperoleh percikan hujan pemenuhan dahaganya.
Dikutip dari republika.co.id
Yudi Latif , akademisi yang konsen dengan masalah kebangsaan menilai Pancasila kurang diamalkan karena tidak ada sosok yang pantas dijadikan panutan. Berikut artikel Yudi Latif yang berjudul Pancasila dalam Perbuatan sebagai sikapnya atas krisis jatidiri bangsa:
Saat ini, kita pergoki ada keluhan panjang dan luas tentang krisis keteladanan. Banyak orang meratapi ketiadaan panutan di tengah masyarakat, sebagai mercusuar di kegelapan. Seolah-olah contoh panutan itu mesti riil dan hadir sekarang dan di sini. Tetapi kita melihat kenyataan lain, betapapun Nabi Muhammad SAW, Isa Almasih (Yesus Kristus), dan Siddhartha Gautama telah tiada ratusan tahun lamanya, namun perangai (akhlak) mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Karena suri teladan mereka terus dikisahkan.
Sejauh ini, kita gagal mentrasmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hapalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.
Dengan demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa.Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani/Latin, “kharassein”/”kharaktêr”, yang berarti tulisan, lukisan, cetakan atau pahatan. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus).
Cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hapalan. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, “Moral is not taught but caught.” Pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif lewat hapalan dan ”pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusasteraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Pengaruh kesusasteraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan merubah dunia. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role modelbagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.
Jika pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya, bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru keteladanannya. Betapa banyak orang yang terinspirasi setelah membaca kisah para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan sebagian besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi, memuat kisah-kisah keteladanan.
Bangsa ini pun sesungguhnya memiliki “pahlawan-pahlawan” keagungannya tersendiri dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan “wong elit” (kalangan atas) maupun “wong alit” (rakyat biasa). Tetapi kisah-kisah keteladanan mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di belam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan dan reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.
Suatu usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.
Selain sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi penyelengara negara dan warga negara dalam kehidupan publik yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun dalam wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.
Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kaelan, 2013). Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012).
Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.
Tentang Pancasila sebagai tuntunan normatif kehidupan bangsa dan negara telah banyak buku yang mengupasnya. Tentang Pancasila sebagai paradigma pengetahuan, masih jarang buku yang mengupasnya. Setidaknya, salah satu usaha dalam kerangka itu telah coba saya lakukan dalam buku terdahulu “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011). Tentang Pancasila dalam dimensi tindakan, nyaris belum ada buku yang secara khusus mengupasnya, dengan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu.
Padahal, problem Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan, yang menimbulkan keraguan banyak orang akan “kesaktian” nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebuah usaha harus diulakukan untuk mengabarkan dan mengarusutamakan kisah-kisah keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Untuk menutupi kelangkaan itu, belum lama berselang, penulis telah meluncurkan buku “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” (Mizan, 2014). Kelahiran buku ini diharapkan bisa merangsang para penulis lain untuk menciptakan karya sejenis secara lebih kreatif agar keluhan panjang tentang kemarau keteladanan memperoleh percikan hujan pemenuhan dahaganya.
Dikutip dari republika.co.id
Posting Komentar