Kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang digali dengan semangat kebangsaan dan kemerdekaan asasi, mendasari berdirinya negara ini. Sejarah telah mencatat bahwasanya prosesi pembentukan dasar negara saat itu, melalui adu argumentasi di badan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI. Pemaparan yang dilakukan dari beberapa panelis yaitu M.Yamin, Prof Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno dijadikan bahan kajian perumusan falsafah negara Indonesia. Ketiga pemapar tersebut masing-masing mengajukan lima asas negara. Dalam pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, menyatakan bahwasanya ia telah memikirkan falsafah negara ini sejak th 1918. Hingga akhirnya merumuskan lima sendi yang ia sebut dengan Pancasila. Nama Pancasila sendiri diambil dari kitab suci Agama Budha yaitu Tri Pitaka, panca berarti lima dan syila adalah sendi atau dasar.
BPUPKI yang dipimpin Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat kemudian membentuk panitia kecil, yang beranggotakan sembilan orang. Mereka adalah Ir. Soekarno, M Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, H.A Salim, Achmad Soebardjo dan M. Yamin. Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato Ir. Soekarno. Panitia sembilan berhasil menyusun suatu rumusan dasar negara, kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Adapun falsafah negara yang disahkan dan diberlakukan adalah sesuai dengan pembukaan UUD 45. Dimana ada penghapusan tujuh kata pada sila pertama pada Piagam Jakarta. Ini menunjukkan begitu tolerannya ummat Islam bangsa Indonesia terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Disamping itu pula ini adalah proses histori yang harus diterima dengan jiwa besar. Karena Muhammad saw sendiri pernah mengalami hal serupa saat pembuatan Piagam Madinah. Kaum Yahudi saat itu tidak menyetujui pemakaian kata Bismillahirrohmanirrohim di awal dan Muhammad Rasulullah di akhir bagian. Namun Rasulullah menyetujuinya dan menghapusnya dari Piagam Madinah, kemudian hanya mencantumkan nama Muhammad saja di bagian akhir.
Revitalisasi Pancasila untuk saat ini adalah bagaimana membangun paradigma yang tepat, dan menginternalisasikan ke dalam konteks yang seluas-luasnya. Paradigma hari ini haruslah lebih terbuka sehingga Pancasila mampu terus eksis di bumi pertiwi ini. Nampaknya semenjak tergulingnya rezim orde baru, acara-acara seperti penataran P4 dan forum negara Pancasila sudah tidak lagi di laksanakan. Perubahan besar ini menimbulkan ekses terhadap merosotnya jiwa nasionalis rakyat secara meluas. Pengamat politik Azyumardi Azra memaparkan dalam sebuah diskusi di Japto Center, bahwa perlunya metode baru untuk menyosialisasikan Pancasila. Perubahan pertama yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma yang sempit. Sehingga Pancasila menjadi sebuah falsafah negara yang dinamis bukan statis, yang terbuka menerima ragam penafsiran, dengan tetap berada pada frame negara kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila ajaran Ilahi
Kurun waktu tahun 80-an, kita masih sering mendengar di RRI acara forum negara pancasila yang diasuh oleh Tejo Sumarto sarjana hukum. Persoalan-persoalan tentang miskonsepsi ataupun misunderstanding terhadap falsafah negara dikupas jelas. Paradigma yang dikembangkan saat itu adalah untuk memproteksi berkembangnya komunisme atau berkembangnya idiologi kanan di Indonesia. Hal itu cukup efektif karena stabilitas ekonomi dan hankam sangat diprioritaskan. Namun menjelang tahun1998 saat krisis ekonomi menasional, emosional rakyat seakan-akan tertumpah. Penataran-penataran P4 yang diadakan di lembaga-lembaga pemerintah, sekolah-sekolah ataupun di masyarakat seakan-akan telah menjadi barang yang tidak bermakna lagi. Rakyat bertindak anarkis meluapkan emosinya, hasilnya rezim orde baru pun terguling. Ironi sekali sejak itu kegiatan-kegiatan penataran P4 dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan itu didisfungsikan.
Perkembangan yang tidak dapat ditolak adalah berubahnya situasi dunia secara global, dimana batas-batas negara seakan-akan telah lenyap. Teknologi komunikasi telah menjembatani percepatan laju perubahan tersebut. Ideologi-ideologi yang berkembang di dunia pun mengalami imbasan yang sama. Paham sosialis-komunis, liberalis juga harus menyesuaikan dengan perubahan yang ada bila ingin eksis. Bahkan akhir-akhir ini ideologi bukan lagi menjadi momok, bahkan cenderung lebih luwes dalam pelaksanaannya. Bagaimana dengan Pancasila?
Sebuah orasi ilmiah yang di sampaikan oleh Dr. AS. Panji Gumilang, saat perayaan Idul Fitri 1429 H, cukup menarik penulis untuk menuliskannya di lembaran ini. Orasi yang diberi judul Pancasila Ajaran Ilahi menurut penulis sangat berani, ditengah krisis kepercayaan terhadap Pancasila, melanda berbagai elemen bangsa ini. Dalam orasi itu digambarkan jelas bagaimana kesesuaian Pancasila dengan ajaran Ilahi yang dibawa oleh para rasul-rasulnya. Pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai dengan kewajiban mewujudkan masyarakat yang berketuhanan. Suatu keharusan bagi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan dan beragama, apapun agama dan kepercayaan yang mereka yakini. Maka negara harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk, memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak boleh lagi ada anarkisme yang mengatasnamakan agama. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab dimaknai dengan suatu sikap revitalisasi diri, untuk memupuk dinamisme kreatif kehidupan, yang menghantarkan seseorang menjadi dinamis, selalu sensitif dan peka terhadap gerak perubahan dan pembaharuan. Hal ini tidak terbatas agama tertentu, berlaku menyeluruh. Semakin kuat rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, maka semakin rendah hati, teguh keyakinan dan murah hati. Maka yang akan muncul adalah sikap toleran dan damai, yang merupakan misi tiap agama di dunia ini. Sikap ini pula yang akan membentuk paradigma bahwa semua bangsa dapat dan harus hidup dalam harmoni penuh toleransi dan perdamaian.
Persatuan Indonesia bukan merupakan pandangan dogmatis dan sempit. Indonesia merupakan persatuan berbagai etnis, suku, ras, budaya dan agama. Indonesia juga merupakan bagian dari masyarakat dunia secara menyeluruh. Maka persatuan Indonesia merupakan landasan hidup bangsa yang selalu mementingkan silaturahim, kesetiakawanan, kesetiaan dan keberanian. Hal ini akan membuka hati dan fikiran kita untuk menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa ini. Pada akhirnya bangsa ini siap menuju globalisasi, dengan tetap bangga secara tulus ikhlas pada jati dirinya.
Sila ke empat merupakan landasan idiil, untuk mampu menghantarkan bangsa ini pada prinsip-prinsip republikanisme, populisme, rasionalisme dan reformisme yang diperkuat dengan semangat keterbukaan. Kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah, walaupun dalam kancah pergolakan yang hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmat kebijaksanaan diwujudan dengan pendidikan yang mumpuni. Pendidikan akan mewarnai kerakyatan yang penuh harmoni, toleransi, dan damai. Pendidikan pula yang akan menjauhkan dari sikap radikalisme ataupun terorisme. Sila ke lima dimaknai dengan mewujudkan asas masyarakat yang stabil, yang ditumbuhkan oleh masyarakat secara mandiri. Keadilan sosial itu meliputi keilmuan, keikhlasan pemikiran, kelapangan hati, peradaban, kesejahteraan keluarga, keadilan masyarakat dan kedamaian.
Kelima sila tersebut sarat dengan nilai-nilai Ilahiah. Tuhan sebagai zat yang wajib disembah saja sangat demokratis. Dia tidak memaksakan manusia untuk mentaatinya. Dia telah menyempurnakan manusia dengan kebagusan bentuk dan akal fikiran, untuk dapat digunakan untuk menimbang dengan logika yang benar. Dia begitu adil membagi rizki, kenikmatan, kesejahteraan kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali. Dia pula yang membuat kesatuan alam semesta sehingga muncul keteraturan, dan keharmonisan dalam siklus kehidupan. Dia pula yang memberikan punishment yang setimpal kepada setiap bentuk pelanggaran dan perusakan ekosistem alam ini. Semua itu berjalan seperti air mengalir, penuh harmoni dan kesejukan.
Berdiri di atas Pancasila
Pancasila terdiri dari lima sila yang merupakan satu kesatuan, bulat dan utuh. Pelaksanaannya dalam realitas kehidupan pun saling berkaitan satu sama. Kehidupan berbangsa yang memiliki kompleksitas tinggi, menghajatkan kepiawaian dalam pengejawantahannya. Baik rakyat maupun pemerintah memiliki tanggung jawab moril untuk menjadi model pancasialis. Sehingga masyarakat dunia akan mampu melihat dan memperhitungkan kita sebagai bangsa yang adi luhung.
Pancasila bukan lagi substansi yang diperdebatkan. Yang perlu dilakukan kini dan esok adalah menjadikannya sebagai idiologi yang terbuka. Terbuka bukan berarti tidak memiliki pendirian, namun terbuka dalam hal penafsiran. Setiap warga negara memiliki hak untuk menafsirkan Pancasila, sesuai dengan kemampuan, kondisi maupun profesinya. Bahkan bangsa ini harus selalu berijtihad untuk menemukan metodologi yang tepat dalam menafsirkannya zaman ke zaman. Ini dapat diwujudkan hanya bila bangsa ini mau selalu berdiri diatas Pancasila. Sehingga ideologi ini selalu digandrungi bahkan dijadikan motivasi untuk tampil menjadi the only one.
Oleh :
Slamet Iman Santoso (Penulis adalah staff pengajar sosiologi di PKBM Sekolah Kita Cibanoang-Jawa Barat)