Pancasila Secara Etimologis, Historis, & Terminologis

Hakikat Pancasila


Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memliki pengertian pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan Negara, sabagai kepribadian bangsa bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus didesktipsikan secara objektif. Selain itu, pancasila secara kedudukan dan fungsinya juga harus dipahami secara kronologis.

Oleh karena itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahannya maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup pengertian sebagai berikut :

Pengertian Pancasila secara etimologis


Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu :

“panca” artinya “lima”
“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”

Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.

Pengertian Pancasila secara Historis


Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.

Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.

Pengertian Pancasila secara Terminologis


Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.

Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
Selengkapnya »

Pengarahan Ketua MPW kepada Anggota Koti Mahatidana Jawa Barat

Pada hari Jum'at (6/02/15) dilaksanakan Rapat Konsolidasi Organisasi yang dipimpin langsung oleh Ketua MPW Pemuda Pancasila Jawa Barat H. Tubagus Dasep IPS di Markas Komando (Jl. BKR 177-Bandung). 

Adapun materi pertemuan adalah pengarahan dari Ketua MPW selaku pimpinan tertinggi Lembaga Koti Mahatidana di Jawa Barat kepada seluruh anggota Koti Mahatidana Jawa Barat berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan di Tanah Air yang berimbas kepada Jawa Barat. Beliau menghimbau kepada seluruh anggota Koti Jawa Barat agar tetap solid dalam menjaga nama baik organisasi dan harus mampu berperan aktif menjaga stabilitas keamanan di Jawa Barat yang diharapkan dapat berkoordinasi dengan Aparat penegak hukum yang ada baik jajaran TNI/POLRI maupun dengan masyarakat sekitar.

Dalam arahannya beliau menegaskan bahwa kader Pemuda Pancasila BUKAN PREMANISME tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat di Jawa Barat yang keberadaannya harus dilindungi oleh negara, selain itu kader Pemuda Pancasila harus mampu menampilkan karakter positif kepada masyarakat di tengah-tengah maraknya dan berjamurnya ormas-ormas di Jawa Barat dengan berbagai jenis aktifitasnya. 

Namun beliau menegaskan pula bahwa selama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, maka Pemuda Pancasila akan tetap ada dan menjadi garda terdepan untuk mengamalkan dan mengamankan Pancasila.
NKRI Harga Mati...
PANCASILA ABADI...
Pemuda Pancasila Harga Diri Kami


Selengkapnya »

Komposisi Kepengurusan Lembaga KOTI Mahatidana Jawa Barat

KOMPOSISI KEPENGURUSAN

LEMBAGA KOMANDO INTI MAHATIDANA
PEMUDA PANCASILA
Provinsi Jawa Barat

*Klik Nama untuk Lihat Foto

1
2
3
4

5
6

7
8

9
10

11
12
13
14
15
16

Komandan
Wadan Koti          
Sekretaris           
Wakil Sekretaris  
             
Asisten I (Pelatihan & Pengembangan Potensi )


Asisten II (Perencanaan & Koordinasi)


Asisten III (Informasi & Hubungan Masyarakat)


Asisten IV (Unit Khusus)                             
:
:
:
:

:


:


:


:
TATANG BATARA




MANSUENTUS HEMU (Danprovost)
Dodong (URC)

ARESH RMYE
Selengkapnya »

Berdiri di Atas Pancasila

Kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang digali dengan semangat kebangsaan dan kemerdekaan asasi, mendasari berdirinya negara ini. Sejarah telah mencatat bahwasanya prosesi pembentukan dasar negara saat itu, melalui adu argumentasi di badan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI. Pemaparan yang dilakukan dari beberapa panelis yaitu M.Yamin, Prof Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno dijadikan bahan kajian perumusan falsafah negara Indonesia. Ketiga pemapar tersebut masing-masing mengajukan lima asas negara. Dalam pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, menyatakan bahwasanya ia telah memikirkan falsafah negara ini sejak th 1918. Hingga akhirnya merumuskan lima sendi yang ia sebut dengan Pancasila. Nama Pancasila sendiri diambil dari kitab suci Agama Budha yaitu Tri Pitaka, panca berarti lima dan syila adalah sendi atau dasar.
BPUPKI yang dipimpin Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat kemudian membentuk panitia kecil, yang beranggotakan sembilan orang. Mereka adalah Ir. Soekarno, M Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, H.A Salim, Achmad Soebardjo dan M. Yamin. Tugas panitia ini adalah merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato Ir. Soekarno. Panitia sembilan berhasil menyusun suatu rumusan dasar negara, kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Adapun falsafah negara yang disahkan dan diberlakukan adalah sesuai dengan pembukaan UUD 45. Dimana ada penghapusan tujuh kata pada sila pertama pada Piagam Jakarta. Ini menunjukkan begitu tolerannya ummat Islam bangsa Indonesia terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Disamping itu pula ini adalah proses histori yang harus diterima dengan jiwa besar. Karena Muhammad saw sendiri pernah mengalami hal serupa saat pembuatan Piagam Madinah. Kaum Yahudi saat itu tidak menyetujui pemakaian kata Bismillahirrohmanirrohim di awal dan Muhammad Rasulullah di akhir bagian. Namun Rasulullah menyetujuinya dan menghapusnya dari Piagam Madinah, kemudian hanya mencantumkan nama Muhammad saja di bagian akhir.
Revitalisasi Pancasila untuk saat ini adalah bagaimana membangun paradigma yang tepat, dan menginternalisasikan ke dalam konteks yang seluas-luasnya. Paradigma hari ini haruslah lebih terbuka sehingga Pancasila mampu terus eksis di bumi pertiwi ini. Nampaknya semenjak tergulingnya rezim orde baru, acara-acara seperti penataran P4 dan forum negara Pancasila sudah tidak lagi di laksanakan. Perubahan besar ini menimbulkan ekses terhadap merosotnya jiwa nasionalis rakyat secara meluas. Pengamat politik Azyumardi Azra memaparkan dalam sebuah diskusi di Japto Center, bahwa perlunya metode baru untuk menyosialisasikan Pancasila. Perubahan pertama yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma yang sempit. Sehingga Pancasila menjadi sebuah falsafah negara yang dinamis bukan statis, yang terbuka menerima ragam penafsiran, dengan tetap berada pada frame negara kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila ajaran Ilahi
Kurun waktu tahun 80-an, kita masih sering mendengar di RRI acara forum negara pancasila yang diasuh oleh Tejo Sumarto sarjana hukum. Persoalan-persoalan tentang miskonsepsi ataupun misunderstanding terhadap falsafah negara dikupas jelas. Paradigma yang dikembangkan saat itu adalah untuk memproteksi berkembangnya komunisme atau berkembangnya idiologi kanan di Indonesia. Hal itu cukup efektif karena stabilitas ekonomi dan hankam sangat diprioritaskan. Namun menjelang tahun1998 saat krisis ekonomi menasional, emosional rakyat seakan-akan tertumpah. Penataran-penataran P4 yang diadakan di lembaga-lembaga pemerintah, sekolah-sekolah ataupun di masyarakat seakan-akan telah menjadi barang yang tidak bermakna lagi. Rakyat bertindak anarkis meluapkan emosinya, hasilnya rezim orde baru pun terguling. Ironi sekali sejak itu kegiatan-kegiatan penataran P4 dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan itu didisfungsikan.
Perkembangan yang tidak dapat ditolak adalah berubahnya situasi dunia secara global, dimana batas-batas negara seakan-akan telah lenyap. Teknologi komunikasi telah menjembatani percepatan laju perubahan tersebut. Ideologi-ideologi yang berkembang di dunia pun mengalami imbasan yang sama. Paham sosialis-komunis, liberalis juga harus menyesuaikan dengan perubahan yang ada bila ingin eksis. Bahkan akhir-akhir ini ideologi bukan lagi menjadi momok, bahkan cenderung lebih luwes dalam pelaksanaannya. Bagaimana dengan Pancasila?
Sebuah orasi ilmiah yang di sampaikan oleh Dr. AS. Panji Gumilang, saat perayaan Idul Fitri 1429 H, cukup menarik penulis untuk menuliskannya di lembaran ini. Orasi yang diberi judul Pancasila Ajaran Ilahi menurut penulis sangat berani, ditengah krisis kepercayaan terhadap Pancasila, melanda berbagai elemen bangsa ini. Dalam orasi itu digambarkan jelas bagaimana kesesuaian Pancasila dengan ajaran Ilahi yang dibawa oleh para rasul-rasulnya. Pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai dengan kewajiban mewujudkan masyarakat yang berketuhanan. Suatu keharusan bagi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan dan beragama, apapun agama dan kepercayaan yang mereka yakini. Maka negara harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk, memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Tidak boleh lagi ada anarkisme yang mengatasnamakan agama. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab dimaknai dengan suatu sikap revitalisasi diri, untuk memupuk dinamisme kreatif kehidupan, yang menghantarkan seseorang menjadi dinamis, selalu sensitif dan peka terhadap gerak perubahan dan pembaharuan. Hal ini tidak terbatas agama tertentu, berlaku menyeluruh. Semakin kuat rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, maka semakin rendah hati, teguh keyakinan dan murah hati. Maka yang akan muncul adalah sikap toleran dan damai, yang merupakan misi tiap agama di dunia ini. Sikap ini pula yang akan membentuk paradigma bahwa semua bangsa dapat dan harus hidup dalam harmoni penuh toleransi dan perdamaian.
Persatuan Indonesia bukan merupakan pandangan dogmatis dan sempit. Indonesia merupakan persatuan berbagai etnis, suku, ras, budaya dan agama. Indonesia juga merupakan bagian dari masyarakat dunia secara menyeluruh. Maka persatuan Indonesia merupakan landasan hidup bangsa yang selalu mementingkan silaturahim, kesetiakawanan, kesetiaan dan keberanian. Hal ini akan membuka hati dan fikiran kita untuk menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa ini. Pada akhirnya bangsa ini siap menuju globalisasi, dengan tetap bangga secara tulus ikhlas pada jati dirinya.
Sila ke empat merupakan landasan idiil, untuk mampu menghantarkan bangsa ini pada prinsip-prinsip republikanisme, populisme, rasionalisme dan reformisme yang diperkuat dengan semangat keterbukaan. Kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah, walaupun dalam kancah pergolakan yang hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmat kebijaksanaan diwujudan dengan pendidikan yang mumpuni. Pendidikan akan mewarnai kerakyatan yang penuh harmoni, toleransi, dan damai. Pendidikan pula yang akan menjauhkan dari sikap radikalisme ataupun terorisme. Sila ke lima dimaknai dengan mewujudkan asas masyarakat yang stabil, yang ditumbuhkan oleh masyarakat secara mandiri. Keadilan sosial itu meliputi keilmuan, keikhlasan pemikiran, kelapangan hati, peradaban, kesejahteraan keluarga, keadilan masyarakat dan kedamaian.
Kelima sila tersebut sarat dengan nilai-nilai Ilahiah. Tuhan sebagai zat yang wajib disembah saja sangat demokratis. Dia tidak memaksakan manusia untuk mentaatinya. Dia telah menyempurnakan manusia dengan kebagusan bentuk dan akal fikiran, untuk dapat digunakan untuk menimbang dengan logika yang benar. Dia begitu adil membagi rizki, kenikmatan, kesejahteraan kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali. Dia pula yang membuat kesatuan alam semesta sehingga muncul keteraturan, dan keharmonisan dalam siklus kehidupan. Dia pula yang memberikan punishment yang setimpal kepada setiap bentuk pelanggaran dan perusakan ekosistem alam ini. Semua itu berjalan seperti air mengalir, penuh harmoni dan kesejukan.

Berdiri di atas Pancasila
Pancasila terdiri dari lima sila yang merupakan satu kesatuan, bulat dan utuh. Pelaksanaannya dalam realitas kehidupan pun saling berkaitan satu sama. Kehidupan berbangsa yang memiliki kompleksitas tinggi, menghajatkan kepiawaian dalam pengejawantahannya. Baik rakyat maupun pemerintah memiliki tanggung jawab moril untuk menjadi model pancasialis. Sehingga masyarakat dunia akan mampu melihat dan memperhitungkan kita sebagai bangsa yang adi luhung.
Pancasila bukan lagi substansi yang diperdebatkan. Yang perlu dilakukan kini dan esok adalah menjadikannya sebagai idiologi yang terbuka. Terbuka bukan berarti tidak memiliki pendirian, namun terbuka dalam hal penafsiran. Setiap warga negara memiliki hak untuk menafsirkan Pancasila, sesuai dengan kemampuan, kondisi maupun profesinya. Bahkan bangsa ini harus selalu berijtihad untuk menemukan metodologi yang tepat dalam menafsirkannya zaman ke zaman. Ini dapat diwujudkan hanya bila bangsa ini mau selalu berdiri diatas Pancasila. Sehingga ideologi ini selalu digandrungi bahkan dijadikan motivasi untuk tampil menjadi the only one.

Oleh : Slamet Iman Santoso
(Penulis adalah staff pengajar sosiologi di PKBM Sekolah Kita Cibanoang-Jawa Barat)
Selengkapnya »

Korelasi Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945

Dalam kedudukan dan fungsi pancasila sebagai dasar negara sebagai negara republik indonesia, maka kedudukan pancasila sebagai mana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum indonesia. Dengan demikian seluruh peraturan perudang- undangan di indonesia harus bersumber pada pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung asas kerohanian negara atau dasar filsafat negara RI.

Dalam alinia ke empat pembukaan UUD 1945, termuat unsur- unsur yang menurut ilmu hukum di syaratkan bagi adanya suatu tertib hukum di indonesia (rechts orde) atau (legai orde) yaitu suatu kebulatan dan keseluruhan peraturan- peraturan hokum

Dengan di cantumkanya pancasila secara formal didalam pembukaan UUD 1945, maka pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif, dengan demikian tata kehidupan benegara tidak hanya bertopang pada asas- asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduanya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya yaitu panduan asas- asas kultural.

Hubungan Kausal Organis Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945

Dalam sistem tertib hukum indonesia, penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa Pokok Pikiran itu meliputi suasana kebatinan dari Undang- Undang Dasar Negara Indonesia serta mewujudkan cita- cita hukum, menguasai hukum dasar tertulis (UUD) dan hukum dasar tidak tertulis (convensi), selanjutnya Pokok Pikiran itu di jelmakan dalam pasal- pasal UUD 1945. Maka dapatlah disimpulkan bahw suasana kebatinan UUD 1945 tidak lain di jiwai atau bersumber pada dasar filsafat negara dan fungsi pancasila sebagai dasar negara RI.

Pembukaan UUD 45 mempunyai kedudukan Lebih tinggi dibanding Batang Tubuh, alasannya Dalam Pembukaan terdapat :

Dasar Negara (Pancasila)

Fungsi dan Tujuan Bangsa Indonesia

Bentuk Negara Indonesia (Republik)

Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental yang bersifat tetap; sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali oleh Pendiri Negara.

Sebagai kaidah negara yang fundamental, sekaligus sebagai asas kerokhanian negara dan jiwa konstitusi, nilai-nilai dumaksud bersifat imperatif (mengikat, memaksa). Artinya, semua warga negara, organisasi infrastruktur dan suprastruktur dalam negara imperatif untuk melaksanakan dan membudayakannya. Sebaliknya, tiada seorangpun warga negara, maupun organisasi di dalam negara yang dapat menyimpang dan atau melanggar asas normatif ini, apalagi merubahnya.

Pembukaan Undang- undang Dasar 1945 Sebagai pokok kaidah negara yang fundamental sehingga Pembukaan UUD 1945 tidak bisa diubah, Pokok kaidah negara yang fundamental tersebut menurut ilmu hukum mempunyai hakikat dan kedudukan hukum yang tetap terletak pada kalangan tertinggi maka secara hukum tidak dapat diubah. Karena mengubah pembukaan UUD 1945 sama halnya dengan pembubaran negara RI, sedangkan Batang Tubuh bisa diubah (diamandeman)

Dalam sistem tata hukum RI, Pembukaan UUD 45 pada hakikatnya telah memenuhi syarat sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Pokok kaidah negara yang fundamental dapat di rinci sebagai berikut :

Ditentukan oleh Pendiri Negara (PPKI) dan terjelma dalam suatu pertanyaan lahir sebagai penjelmaan kehendak Pendiri Negara.

Pernyataan Lahirnya sebagai Bangsa yang mandiri

Memuat Asas Rohani (Pancasila), Asas Politik Negara (Republik berkedaulatan Rakyat), dan Tujuan Negara (menjadi Negara Adil Makmur)

Memuat Ketentuan yang menetapkan adanya suatu UUD Negara

Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 1945. Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45.

Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalamPembukaan UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya. Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. KarenaPembukaan ditetapkan hanya 1 X oleh pendiri negara (the founding fathers, PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus 1945). Siapapun dan organisasi apapun yang tidak mengamalkan dasar negara Pancasila – beserta jabarannya di dalam UUD negara, bermakna pula tidak loyal dan tidak membela dasar negara Pancasila, maka sikap dan tindakan demikian dapat dianggap sebagai makar (tidak menerima ideologi negara dan UUD negara). Jadi, mereka dapat dianggap melakukanseparatisme ideologi dan atau mengkhianati negara.

(DP/ Yoga, berbagai sumber)
Selengkapnya »

Pancasila sebagai Jiwa Raga Generasi Muda

Di era globalisasi yang marak di semua negara ini, kadang membawa sisi baik namun tak luput pula membawa sisi buruk pada moral serta etika para penduduk di negara tersebut bahkan lebih menyerang para generasi penerus bangsa.

Selain itu bukan hanya Globalisasi yang begitu menyerang setiap negara, bahkan kita bisa mengambil contoh lebih dekat. Iya, contohnya dinegara kita sendiri ini, berbagai budaya dari 33 provinsi dari 17 ribu pulau pun pasti berbeda-beda. Untuk merukunkannya kita pun tidak hanya bisa berdiam diri menunggu mereka rukun sendiri, bahkan diera sekarang masih banyak tawuran yang terjadi antar budaya. Walaupun negara kita ini terkenal dengan asas Kekeluargaan dan Kemusyawarahannya. Namun jika semua itu tak dilandasi dengan perhatian yang banyak, maka semua itu hanyalah sebuah kata-kata indah yang menghiasi nama Indonesia sebagai negara.

Maka dari itu dahulu para pendahulu kita mungkin telah meramalkan kejadian ini, dan membuat suatu lambang pemersatu dari beribu-ribu budaya atau istilah kerennya multikultur. Menciptakan suatu semboyan yang dapat menyatukan beribu-ribu macam budaya, membuat suatu lambang yang bisa menyatukan beribu-ribu ras.

Namun di zaman sekarang, peran lambang bangsa peran semboyan bangsa harus kembali diperhatikan dan ditanamkan dalam jiwa para pemuda dan seluruh penduduk bangsa yang semakin mulai mengalami kehancuran ini jika tidak melalukan perubahan dengan banyaknya kultur yang berbeda pendapat dan ditambah masuknya budaya asing yang tanpa diseleksi, karena ini dapat sembarangan masuk dan bercampur dengan budaya lokal.

Seperti apa yang telah bung Hatta katakan “Lebih mudah melawan penjajah untuk merdeka, daripada harus melawan bangsa sendiri”

Mari coba kita pahami nilai-nilai yang terkandung dalam tiap sila di dalam Pancasila itu :

(-) Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) mengandung banyak nilai disana yaitu :
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Bangsa Indonesia menerapkan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan masing-masing
  3. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
(-) Sila Kedua (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) mengandung banyak nilai disana yaitu :
  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mempunyai azas yang tinggi tentang menjunjung nilai kemanusiaan
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  5. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

(-) Sila Ketiga (Persatuan Indonesia) mengandung banyak nilai disana yaitu :
  1. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  2. Mengembangkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa
  3. Menciptakan rasa persatuan dan kesatuan antar masyarakat
  4. Menciptakan rasa rela berkorban demi negara
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

(-) Sila Keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan
perwakilan) mengandung banyak nilai disana yaitu :
  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
  2. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  3. Tidak memaksakan kehendak pribadi
  4. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  5. Mengutamakan kepentingan kelompok daripada pribadi
(-) Sila Kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ) mengandung banyak nilai disana
yaitu :
  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  3. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  4. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  5. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
Sekarang setelah kita mengetahui apa saja isi dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, namun pada dasarnya nilai yang tiap sila itu saling berkaitan satu sama lain dalammembentuk karakter bangsa ini, maka dari itu kita bisa memulai diri kita untuk merenunginya, dan menyelesaikan masalah demi masalah yang dihadapi negeri ini dengan mengamalkan nilai tersebut.

Kadang melawan apa yang ada dinegara kita ini terlalu susah jika kita tidak berpaku pada demokrasi Pancasila, berbagai macam ras tidak semudah disatukan semudah membalik telapak tangan.
Tidak hanya satu dua masalah yang membuat negara kita timbul konflik, bukan cuma satu masalah yang bisa terselesaikan.

Dan sungguh mengecewakan kondisi pemuda kita jaman sekarang ini, terlalu banyak dampak globalisasi dari negri lain yang dapat mereka serap sehingga meninggalkan budaya kita, ya budaya kita, contoh : seperti sopan santun anak muda terhadap orangtua/guru.

Di era sekarang rasa menghormati antar anak muda dengan guru semakin memuncit dan hampir tidak ada sama sekali. Kita harus kembali membangkitkan rasa kehormatan itu kembali. Tanamkan jiwa rasa orang terdahulu yang masih mengenal dan menimbang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

Pancasila adalah salah satu lambang negara kita, yang mungkin hanya berbentuk burung garuda namun bisa menyatukan berbagai ras.

Namun, apakah pemuda kita masih peduli dengan budaya yang ada di Indonesia, negeri yang penuh akan budaya. Tarian, Baju, Rumah adat dan banyak lagi. Namun mengapa para pemuda kita malah lebih bangga terhadap budaya bangsa lain ? kenapa jika tidak menggunakan budaya bangsa lain kita merasa katrok atau yang biasanya disebut ketinggalan jaman?

Mulai sekarang marilah kita coba bangun kembali identitas sang Pancasila didepan dan melekatkannya kepada jiwa para Pemuda kita, jika kita telat mengambil alih dan memperbaikinya, maka identitas sang lambang bangsa akan segera punah dan semakin terabaikan dengan semakin banyaknya budaya asing yang masuk kedalam negeri kita ini.

Dan mungkin nanti, anak cucu kita pun sudah tidak mengetahu apa dasar-dasar nilai yang termuat di dalam Pancasila, yang sebenarnya diambil dari kebiasaan bangsa kita ini. Semuanya akan ditinggalkan begitu saja tanpa menyisakan bekas apapun.

Mengikuti arus globalisasi memang penting, namun tidak semuanya dapat kita serap secara bebarengan, kita harus menimang nimangnya terlebih dahulu sebelum kita salah tindakan. Seperti gaya pakaian yang semakin senonoh, dan mungkin mulai digemari para pemuda kita. Padahal dalam Pancasila diajarkan untuk sopan santun. Karena nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila sudah tidak usah diragukan lagi kebenarannya dan keserasaiannya dengan masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, harapan kita kelak hanyalah dibahu para pemuda kita, dan seharusnya mulai dari sekarang marilah kita tanamkan jiwa Pancasila dalam seluruh jiwa pemuda bangsa Indonesia. Sebelum terdapat kata terlambat didalamnya, dan sebelum negara kita semakin terpengaruh dengan globalisasi ini yang semakin tidak bisa dikendalikan sama sekali.

(Dewi, peserta lomba blog Pusaka Indonesia 2013)
Selengkapnya »

Pancasila Dalam Perbuatan

Paska era reformasi, Pancasila seperti “barang yang langka”. Tidak banyak dijumpai kegiatan yang diadakan instansi pemerintah untuk menggencarkan penanaman nilai Pancasila. Di media massa, hanya MPR, lembaga yang sering santer disebut dan terlibat dalam sosialisasi Pancasila. Selebihnya, penanaman karakter Pancasila disandarkan pada mata pelajaran PKn (Pancasila dan Kewarganegaraan) di sekolah.

Yudi Latif , akademisi yang konsen dengan masalah kebangsaan menilai Pancasila kurang diamalkan karena tidak ada sosok yang pantas dijadikan panutan. Berikut artikel Yudi Latif yang berjudul Pancasila dalam Perbuatan sebagai sikapnya atas krisis jatidiri bangsa:

Saat ini, kita pergoki ada keluhan panjang dan luas tentang krisis keteladanan. Banyak orang meratapi ketiadaan panutan di tengah masyarakat, sebagai mercusuar di kegelapan. Seolah-olah contoh panutan itu mesti riil dan hadir sekarang dan di sini. Tetapi kita melihat kenyataan lain, betapapun Nabi Muhammad SAW, Isa Almasih (Yesus Kristus), dan Siddhartha Gautama telah tiada ratusan tahun lamanya, namun perangai (akhlak) mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Karena suri teladan mereka terus dikisahkan.

Sejauh ini, kita gagal mentrasmisikan kisah keteladanan para “pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara “pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hapalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.

Dengan demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa.Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani/Latin, “kharassein”/”kharaktêr”, yang berarti tulisan, lukisan, cetakan atau pahatan. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus).

Cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hapalan. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, “Moral is not taught but caught.” Pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif lewat hapalan dan ”pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusasteraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.

Pengaruh kesusasteraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan merubah dunia. Kisah Rosie the Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah-biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role modelbagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.

Jika pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya, bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru keteladanannya. Betapa banyak orang yang terinspirasi setelah membaca kisah para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan sebagian besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi, memuat kisah-kisah keteladanan.

Bangsa ini pun sesungguhnya memiliki “pahlawan-pahlawan” keagungannya tersendiri dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan “wong elit” (kalangan atas) maupun “wong alit” (rakyat biasa). Tetapi kisah-kisah keteladanan mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di belam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan dan reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.

Suatu usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.

Selain sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi penyelengara negara dan warga negara dalam kehidupan publik yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun dalam wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.

Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kaelan, 2013). Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012).

Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret.

Tentang Pancasila sebagai tuntunan normatif kehidupan bangsa dan negara telah banyak buku yang mengupasnya. Tentang Pancasila sebagai paradigma pengetahuan, masih jarang buku yang mengupasnya. Setidaknya, salah satu usaha dalam kerangka itu telah coba saya lakukan dalam buku terdahulu “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011). Tentang Pancasila dalam dimensi tindakan, nyaris belum ada buku yang secara khusus mengupasnya, dengan pendekatan yang menyeluruh dan terpadu.

Padahal, problem Pancasila adalah terlalu surplus ucapan dan terlalu minus tindakan, yang menimbulkan keraguan banyak orang akan “kesaktian” nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebuah usaha harus diulakukan untuk mengabarkan dan mengarusutamakan kisah-kisah keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Untuk menutupi kelangkaan itu, belum lama berselang, penulis telah meluncurkan buku “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” (Mizan, 2014). Kelahiran buku ini diharapkan bisa merangsang para penulis lain untuk menciptakan karya sejenis secara lebih kreatif agar keluhan panjang tentang kemarau keteladanan memperoleh percikan hujan pemenuhan dahaganya.

Dikutip dari republika.co.id
Selengkapnya »